Posted in breakfast

Breakfast: written in the krl

Goodmorning lovelysss🌻 Rise and shine as I start my day with morning prayer, and then take a sip of water. Friday is always Fri-yay so I wake up feeling extra blessed by the fact that theres just one class for the day. 2 am. N2 304. Introduction to Politics (with the lecturer asking ‘What is politics?’ 10 times each lesson)😑😑

snapchat-5968810728945207709

 

Fri-YAY🙆 quickly turns itu Fri-YAZZZZ as a train door opens right in front of me only seconds after I reach the peron. So I hop in and take a seat comfortably placing my bag next to me. Had breakfast earlier in the car with my dad, mommy’s fried rice, tasting so so freaking good (especially bcs its her cooking, not mine or Takor’s HAHA)💦 Plus, its been bread and eggs for weeks😢😢

2016-09-14 09.18.28 1.jpg

Air conditioner blowing as I seat peacefully, earphones on, nap ready. Just minutes before the KRL (commuter line) stops before even reaching the next stop, which is Stasiun Gondangdia (it even stops before reaching Gambir). Spend my 45 precious minutes staring on the walls of this KRL before deciding to blog this.

Anyways, Stasiun Universitas Indonesia is still miles away. Jamming on Postmodern Jukebox’s playlist on spotify♬ Their version of Habits by Tove Lo is BOMB☠☠ (thanks to the fabulous kanialeyxx) check-it-out-guys!

Oh and #throwback to

img_20160916_102005

Miss you, Ci Vinaaaa🍭 hope to see you tomorrow at ko Verby’s wedding to ci Karina👰 Been missing our Polski family like all the time:( Will definitely return to you guys someday💕 maybe taking my dear dear husband with me (and our 4 little kids……..HAHA)

And almost forget, HAPPY HAPPY HAPPY BIRTHDAYYYYYYY to this one

IMG_20160915_211355.jpg

Jonatan Christie turned 19 yesterday💙 kapannn ngajak gue kenalannn, jooo?  HAHAHA Hope you have a blessed blessed blessed yearrrr and future aheadd📚 (super facsinated by the fact that he always makes this catholic Cross sign before and after each game🙏💗) You are uhh-mayy-zingg:)

Oh and, I guess I’m off to campus-ing in a few moment. Bless my soul😀 Wishing everyone a cheerful day, and hope to continue writing on this everyday….

Snapchat-4182489961709933586.jpg

Fingers crossed,

Vela xx

 

 

Posted in culinary

Eat: Golden Bakery

20160705_143308

Hello, omnivors!

Kali ini gue bakalan bahas tentang Golden Bakery. Anak anak kota besar pasti jarang ada yg tau nih. Tapi, kalo yang namanya pergi ke Kuningan, Jawa Barat (bukan yang di Jakarta loh) pasti bakalan denger deh ibu ibu di jalanan atau di pasar nyebut nyebut toko roti ini.

20160705_143209

Sekilas tentang Kuningan, kabupaten ini terletak diantara Kab Cirebon, Kab Majalengka, dan Kab Brebes. Disini juga, ada Goa Maria Sawer Rahmat, salah satu Goa Maria di Indonesia yang masih bernuansa alami (jalanannya menanjak di pegunungan dekat hutan).

Untuk kesini, paling praktis lewat tol cipali dan keluarnya sebelum brexit.

Nah Golden Bakery sendiri berdiri pada pertengahan tahun 2004. Pada saat itu, Golden merupakan satu-satunya toko roti yang ada di Kuningan. Maka, engga heran kalau tokonya cepat ramai.

20160705_143032

12 tahun setelah pertama kali berdiri, Golden Bakery tetap ramai, meskipun banyak toko roti lain bermunculan. Saking ramainya, Golden Bakery disebut sebagai Prima Rasa/Kartika Sari nya Kuningan loh:)

Tidak hanya roti, Golden juga banyak menjual kue tart, seperti blackforest dan cheese cake, juga bolu gulung, kue kering dan lain sebagainya.

20160705_143220

Roti yang dijual langsung fresh from the oven. Buka pada pukul 9 pagi, para baker tidak berhenti memanggang sampai sore. Karena itulah, dari kejauhan, toko roti ini sudah tercium wanginya:)

Pokoknya, kalau ke Kuningan, jangan lupa ke Golden Bakery. Pas harganya, mantap rasanya!

Lokasi: Jalan Siliwangi 178, Kuningan. No telp: 0232-872242. Letaknya di ujung gang, tepat di belokan.

 

Posted in Cerpen

CERPEN: Fall For You

Insp: Fall For You, Secondhand Serenade

2016-06-19 11.25.57 1.jpg

“Eh, gue balik duluan”

Aku mengangguk tanpa berpaling ke arah suara tersebut.

“Lo juga mesti cepat balik, Drew. Kasihan anak istri lo nungguin” kata Rein sambil beranjak dari kursinya.

Aku kembali menganggukkan kepala.

Rein meraih kunci mobil dari atas meja bar, lalu berjalan pergi.

Tinggalah aku dan seorang barista di bar itu.

Sudah jam 1 malam, tetapi aku sama sekali tidak mengantuk. Mataku malah terbuka lebar, menikmati kesunyian. Entah berapa botol bir yang sudah kuteguk habis.

“Kami tutup setengah jam lagi” Suara si barista memecah keheningan. “Pestanya sudah selesai lama, kenapa masih disini?” Ia bertanya padaku.

“Malas pulang”

Barista itu melirik jari tanganku, lalu tersenyum. “Kau masih muda tetapi sudah menikah” Ia berkata sambil mengelap meja. “Pusing di rumah, kau tidak pergi untuk menemui selingkuhanmu, kan?”

“Tidak” jawabku cepat. “Aku setia pada istriku”

Ia menggeleng-gelengkan kepala. “Tetapi apakah kau cinta padanya?” Suaranya terdengar seakan-akan sudah sering menanyakan hal yang sama kepada orang lain. “Secinta saat masih pacaran dulu?”

Pertanyaan itu berhasil membuatku berpikir keras.

Aku ragu.

Aku tiba di rumah pukul setengah sembilan malam. Badanku lelah sehabis bekerja lembur, dan aku belum makan malam.

Aku ingat berjanji pada Alvin untuk datang ke bachelor party-nya jam 9. Dan aku tahu, sekarang sudah telat.

Dengan terburu-buru aku memasuki rumah, melepas jas kerja dan melemparnya ke atas sofa.

Dari jauh, kulihat anakku, Zeus sudah tertidur di sofa ruang keluarga. Aku menghampirinya dengan langkah perlahan agar ia tidak terbangun. Rambutnya yang ikal dan pipinya yang merah selalu berhasil membuatku tersenyum. Kusentuh pipinya dengan hati-hati, lalu kukecup keningnya.

Zeus adalah pemberian paling berharga dari Tuhan untuk aku dan istriku, Grace. Ia lahir setahun setelah kami menikah, pada saat usia kami 23 tahun.

Aku sedang sibuk mengamati Zeus ketika Grace menghampiriku. Wajahnya terlihat lelah, tetapi matanya menatapku tajam.

Kubalas tatapan matanya dengan lembut. “Gege, ada apa?” Tanyaku pelan.

“Jam berapa ini? Kau baru pulang?” Ia berteriak padaku seperti anjing menyalak. “Padahal kau tidak ada kelas hari ini. Kau habis kemana saja?”

Telingaku terasa pengang diteriaki pertanyaan seperti itu.

“Maaf sayang, tadi aku bekerja lembur” kataku berharap ia mengerti.

“Setiap hari kau ada kelas di kampus, dan baru tiba di rumah tengah malam. Sekalinya tidak ada kelas, kau lembur?” Istriku berteriak terus. “Padahal perusahaan juga milik sendiri. Kau bosnya, tetapi kau yang bekerja paling banyak”

Dari sudut mata, aku dapat melihat Zeus terbangun karena kaget.

Kuhampiri dirinya yang duduk kebingungan. “Zeus, kau sudah bangun?”

Anak kecil itu menatapku dengan mata mengantuk. “Daddy, let’s play

“Daddy can’t play, honey” Grace menanggapi kata-kata anaknya dengan ketus. “Daddy belum makan malam”

Aku menghela napas panjang, sebelum akhirnya menggendong Zeus ke ruang tamu. Berharap ia tidak sadar baru saja dibentak ibunya. “Zeus temani daddy makan malam saja, ya?”

Rupanya Grace sudah menyiapkan hidangan untuk kami makan bersama. Dua porsi chicken steak dan sebotol wine. Mungkin ia memang pantas marah karena merasa kurang dihargai usahanya.

“Zeus, kau mau minum susu?” kata Grace pada Zeus ketika amarahnya sudah agak mereda.

Putra kesayangan kami itu mengangguk, lalu melompat turun dari kursi untuk mengambil gelas. Grace menuangkan susu pada gelas itu, lalu memberikannya kepada Zeus.

“Mommy, sudah kasih tau daddy belum?”

“Tentang apa, sayang?”

“Zee mau breakfast sama daddy tomorrow

“Coba Zee yang bilang sama daddy?”

Aku berdiri dari kursiku untuk mengambil minuman. Sekilas kulirik jam, sudah pukul 9 kurang 5 menit.

Grace memberikanku tatapan galak miliknya. Ia tahu aku akan menghadiri pesta Alvin. Dan ia tahu aku sudah terlambat. Tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yan melarangku untuk pergi.

“Daddy?”

Yes, buddy?”

“Mommy bilang Zee boleh cook breakfast sama daddy tomorrow

Really?” aku menanggapi Zeus cepat. Ponsel di saku celanaku bergetar tanda ada panggilan masuk. Dari Alvin.

Yeah. We are going to make sandwitch with eggs and cheese-

Sorry buddy, I would love to cook breakfast with you tomorrow. But daddy needs to go now

Wajah Zeus yang cerah berubah muram. “Okay, daddy”

Aku mencium pipinya, lalu bergegas pergi meninggalkan ruang makan. Kunaiki tangga, menuju kamar untuk berganti pakaian.

Grace menyusulku dan ikut naik.

“Ayah macam apa kau ini, Andrew?” tanyanya dengan suara yang nyaris tidak terdengar.

“Apa?” Aku ingin memastikan apa yang kudengar.

Wanita itu menatap mataku tajam. “KAU INI AYAH MACAM APA, ANDREW WILLIAM?” katanya sambil memukuli dadaku.

Aku melongo, kehabisan kata-kata. Kesabaranku pelan-pelan hilang.

“Grace, bisakah kita bicarakan ini nanti saja?”

“Aku menungguimu untuk makan malam dari jam 6 sore, dan hanya ini yang bisa kau katakan?” Grace berbicara dengan cepat, tanpa titik koma.

What do you want me to say?” Aku berbicara tak kalah cepat. “You’re a brilliant cook, Ge. It’s super delicious

Ia terus memukuli dadaku, seakan-akan tidak terima dengan jawaban yang baru didengarnya.

I’m sorry, Grace” kataku sesabar mungkin.

“Kau pulang jam 11 malam setiap hari. Zeus hampir tidak pernah bertemu denganmu lagi!”

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk mengatur emosi. Ia tidak pernah seperti ini sepanjang kami berpacaran, 6 tahun. Mengapa ketika kami menikah ia berubah begini?

Dalam hati aku bertanya-tanya, kemana Anastasia Gracia yang dulu kunikahi?

“Kau pulang Zeus sudah tidur. Zeus bangun kau sudah berangkat lagi.” Istriku itu terus-terusan berbicara, tidak memedulikan Zeus yang sendirian di lantai bawah. “Kita ini orang tua. Tugas kau dan aku adalah mendidik anak kita agar menjadi orang yang baik”

“Kau pikir dengan berteriak-teriak dan bertengkar seperti ini anak kita akan bertumbuh menjadi orang baik?” aku berkata, menyela omelannya. “Kau meninggalkan Zeus sendirian di bawah. Kau tidak tahu, bukan, apa anakmu itu sedang bermain pisau atau gunting atau memecahkan gelas?”

“Zeus itu anak kita, bukan anakku saja!” Grace menunjuk-nunjuk diriku. “Ia anakmu juga!”

“Kau pikir untuk siapa aku tiap hari bekerja?” tanyaku sambil berteriak balik. Istri macam apa yang meneriaki suaminya. Awalnya kupikir aku dan Grace dapat membentuk cerita cinta yang berbeda dari sinetron-sinetron televisi.

Grace menghela napas, seperti terkena skakmat oleh pertanyaanku. Ia membuka mulutnya tapi tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya.

“Aku kerja dari pagi sampai malam untuk kalian. Aku melanjutkan S2 demi kalian. Semua yang aku lakukan demi kalian. Seperti ini belum cukup juga?” terus menerus kusampaikan amarah, tanpa bisa dicegah.

“Mommy?” suara Zeus mengagetkan kami berdua.

Grace memalingkan wajahnya, tidak ingin dilihat Zeus. Matanya memerah, seperti hendak menangis, dan rambutnya tergerai berantakan.

“Go to bed, Zee!” suruhnya setengah membentak.

Anak itu memandangi ibunya dengan kaget. Aku sontak menariknya ke dalam pelukan, lalu menepuk-nepuk punggungnya.

“Begini cara kau mendidik anak? Membentaknya ketika ia tidak salah apa-apa?” kataku sepelan mungkin, berharap Zeus tidak mengerti sama sekali tentang pembicaraan kami.

“Bagaimana seharusnya?” Grace berbicara dengan keras, tanpa memedulikan anak kami yang juga ada di dalam kamar. “Bertemu dengannya dua hari dalam seminggu, tidak mendengarkannya berbicara demi pergi ke bar, lalu bermain pahlawan? Menyelamatkannya dari ibu yang jahat?”

Aku meraih kunci mobil dari atas sofa, lalu berpaling pada Zeus.

“Tidur ya, sama mommy. Daddy needs to go somewhere. Besok hari sabtu Zee bisa main seharian sama daddy”

Zeus mengangguk. Aku berjalan keluar dari kamar meninggalkan Grace disana bersama putra kesayanganku.

Setelah itu aku pergi ke bar ini.

Sepanjang malam aku disini, tertawa, minum, mengobrol, minum, lalu tertawa lagi. Berusaha melupakan kericuhan di rumah.

Alvin terlihat bahagia, membicarakan calon istrinya tanpa henti.

“April engga mau punya anak” ujarnya sambil tertawa. “Katanya dia tidak bisa membayangkan kami berdua mengurus anak”

“Dulu kita juga engga ada yang bisa bayangin si Andrew punya anak,” seorang teman kami bercerita. “Nyatanya belum juga setengah tahun married, Grace udah gendut”

Kami semua tertawa, memikirkan saat-saat ketika aku menikah dengan Grace. Memang, dari semua temanku, aku yang pertama menikah.

“Apa kabar istri lo, Drew?” tanya Alvin padaku.

Aku memaksakan sedikit senyuman. “Baik-baik aja dia di rumah”

“Dulu Grace dibawa kemana-mana. Sekarang lo berdua hampir engga pernah kelihatan bareng” Rein berkomentar, diikuti oleh tawa beberapa orang teman.

Ia menyodorkan segelas scotch padaku. “Dia gak beda jauh dari lo, Drew. Cinta mati sama ceweknya”

“Emang lo engga?”

Rein tersenyum lucu untuk menghindari pertanyaanku. “Aneh banget ya, sekarang lo berdua udah pada punya istri” katanya mengubah topik pembicaraan. “Bentar lagi kita semua punya anak, terus jadi bapak-bapak”

Aku hanya mengangguk-anggukan kepala.

“Pasti seru, deh. Pulang kantor udah ada yang masakin”

Rein benar-benar belum tahu betapa sulitnya hidup perkawinan.

“Ya, pasti seru” jawabku dengan nada malas.

Laki-laki itu menghentikan tawanya, sadar bahwa aku tidak terlalu setuju dengannya. “Kenapa lo sama Grace?”

Aku menghela napas. “Biasalah”

“Zeus udah segede apa?” Ia bertanya lagi.

“Bentar lagi 4”

“Udah gede ya dia,” katanya sambil meminta gelasnya diisi kembali. “Kapan punya adik?”

“Belum siap, Re. Satu aja gua sama Grace udah kewalahan, gimana mau nambah?” Aku menjawab dengan kalimat standard yang biasa kuberikan pada semua yang bertanya.

“Tinggal hire baby sitter aja, memangnya susah?” Ia kembali tertawa geli mendengarkan jawaban jujurku. “Padahal dari antara kita semua lo yang paling mapan, Drew. Kita kuliah S2, lo udah dari kuliah jadi bos. Di perusahaan lo sendiri pula”

“Tepatnya itu perusahaan keluarga gua” Aku membetulkan ucapannya.

“Ya, sama saja, bukan?” Rein memberiku tatapan pasrah. “Intinya, lo yang paling berduit diantara kita semua”

“Berduit, engga berduit, punya anak itu repot” Aku berusaha menjelaskan. “Uang engga menjamin hidup lo bahagia, bro”

Temanku itu mengangguk-anggukan kepalanya, sok mengerti. “Gak perlu buru-buru, Drew. Umur lo juga baru berapa, 27 aja belum, anak sudah mau masuk SD” Ia meneguk habis scotch-nya. “Kasihan si Grace mesti gaul sama ibu-ibu”

“Sekarang juga udah ibu-ibu” kataku seenaknya.

Rein tertawa geli. “Bawel ya dia?”

“Banget”

“Terus waktu itu kenapa mau nikah sama dia?”

“Dulu engga sebawel ini”

“Oh ya? Gak sebawel ini, apa lo-nya aja yang gak nyadar?”

Aku terdiam, memikirkan jawaban yang tepat.

“Cinta emang buta, bro” Rein meneruskan kata-katanya. “Ingat engga, dulu lo semangat banget mau ngelamar dia?”

Tentu saja aku ingat. Hari bersejarah.

Setamat SMA, aku dan Grace menjalin hubungan jarak jauh, tepatnya lintas negara. Aku kuliah di Amerika Serikat, sedangkan Grace tetap tinggal di Jakarta. Kami hanya bertemu setiap liburan semester. Tetapi, walaupun begitu, hubungan kami tetap kuat dan serius. Sulit rasanya membayangkan diriku sendiri bersama gadis lain.

Musim panasku yang kedua di Amerika, aku tidak pulang ke Jakarta. Grace-lah yang mengunjungiku di New York untuk berlibur bersama.

Malam kedua ia disana, aku mengajaknya ke konser Coldplay. Aku masih ingat ekspresi wajahnya saat kutunjukan dua lembar tiket konser band favoritnya itu.

Matanya menunjukan kebahagiaan yang amat sangat, sedangkan bibirnya tak mengeluarkan kata-kata sama sekali. Ia memandangiku tanpa berkedip untuk waktu yang cukup lama.

“I love you, Andrew William. I love you! Kau dengar tidak? Aku mencintaimu” teriaknya sambil memelukku.

“Tidak. Suaramu terlalu pelan. Coba ucapkan lagi” Aku berkata, lalu mengecup pipinya. “Tunggu, apa kau tadi berkata I love you?”

“I LOVE YOU” Grace menjerit di telingaku.

Aku menggenggam tangannya erat-erat. “I love you too, Anastasia Gracia” bisikku di telinga gadis itu.

Malam itu kami menghadiri konser Coldplay, band kesukaannya sejak SMP. Grace mengenakan celana pendek dan t’shirt pemberianku di ulang tahunnya yang ke 18.

Kami menikmati semua lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Chris Martin. Ketika lagu The Scientist dinyanyikan, ia meletakkan tangannya di pundakku. Kami berdansa ditengah-tengah kerumunan baris festival. Aku menariknya agar lebih dekat lagi dengan diriku, lalu menyanyikan lirik lagu di telinganya.

“And tell me you love me, come back and haunt me
Oh when I rush to the start
Running in circles, chasing up tails
Coming back as we are”

Suasana kelas festival yang begitu ramai membuat suaraku sulit ia dengar. Tetapi malam itu, aku hanya ingin memastikan bahwa ialah yang terbaik untukku. Dan aku ingat, saat itu rasanya tidak ada yang bisa menggantikan Grace.

“Nobody said it was easy
Oh, it’s such a shame for us to part
Nobody said it was easy
No one ever said it would be so hard
I’m going back to the start”

Ketika lagu akhirnya berakhir, aku sudah tidak ragu lagi. Anastasia Grace adalah gadis paling tepat untukku. Dan malam itu, kupastikan menjadi malam terakhirku sebagai kekasihnya.

Coldplay mulai memainkan lagu Viva La Vida, dan seisi ruangan mulai berteriak dan berjoget mengikuti irama musik. Moment romantis kami pun untuk sementara terpotong oleh suara para penggemar yang berjeritan histeris.

Aku menggenggam tangan Grace, lalu mengeluarkan kotak biru Tiffany&Co dari dalam saku jaket. Gadis itu sama sekali tidak menyadari apa yang sedang kupegang. Ia sibuk menyanyikan lagu dan menari dengan para penggemar yang lain.

“Grace!” Suaraku serak karena gugup. “Hey, Grace!” Aku memanggilnya dengan suara lebih keras.

Ia menoleh kearahku. “Ya?”

Will you marry me?

Tetapi suaraku tenggelam dibalik teriakan semua orang.

“Apa?” Grace berteriak di dekat telingaku sambil tetap menari. “Bisakah kau katakan nanti saja?”

Aku mengangguk. Hopeless. Berpikir bahwa melamarnya di konser Coldplay barisan festival adalah rencana melamar paling buruk sepanjang masa.

Pikiranku mulai merangkai rencana untuk Plan B, tetapi mataku tidak dapat terlepas darinya. Aku menyukai segalanya dari Grace. Senyumnya yang begitu menawan, matanya yang tajam, selera humornya yang gila, cara ia berbicara, cara ia berdiri, segalanya. Aku menyayanginya, mencintainya, membutuhkannya. Aku ingin bersama gadis itu selamanya.

“GRACE” Tiba-tiba bibirku bergerak tanpa disuruh.

Ia menoleh karena kaget.

“WILL YOU MARRY ME?”

Sepanjang hidupku, menunggu adalah hal yang biasa dilakukan. Tetapi saat kau mengeluarkan pertanyaan itu dari hatimu yang terdalam, detik-detik serasa tidak bergerak dan menunggu menjadi hal yang amat sangat mengkhawatirkan.

Satu detik, dua detik, tiga detik, lima detik, sepuluh detik, ia hanya memandangiku dengan tatapan yang sulit diartikan.

Lalu tepat disaat lagu berakhir dan seluruh ruangan mulai berjeritan, ia menangguk.

Aku menghela napas yang telah lama sekali kutahan.

“Yes, yes, yes, yes, yes, I love you, Andrew William. YES!” Kata-kata terindah yang pernah kudengar keluar dari bibirnya.

Beberapa gadis yang berdiri di belakang kami menjerit, tidak memercayai apa yang telah mereka lihat.

Salah satu dari mereka menepuk bahu Grace dengan bersemangat. “Ohmigod, it’s like in the movies. You are so lucky!

Congrats! You must be the happiest girl on the planet right now!

Grace memelukku erat-erat, dan aku mencium dahinya. “I must be the luckiest person on earth” bisiknya di telingaku.

No,” Aku menggelengkan kepala. “I am” kataku sejujur-jujurnya.

Ia mendekat kepadaku, lalu kami berciuman, tidak memedulikan berapa banyak orang yang memperhatikan.

Lucu, karena saat itu, aku benar-benar merasa sangat beruntung memilikinya. Aku merasa menjadi laki-laki paling bahagia di dunia.

Tapi lihatlah aku sekarang, mempertanyakan cintaku pada Grace. Apakah aku masih mencintainya seperti dulu? Atau mungkin rasa itu sudah pudar seiring berjalannya waktu?

Aku merasa menjadi laki-laki paling depresi di dunia, saat ini.

Bar tutup tepat pukul setengah 2 malam.

Aku berjalan menuju mobilku sambil memikirkan betapa dulu aku sangat mencintai Grace. Apapun yang ia lakukan, aku tetap mencintainya.

Dulu kami selalu bersama, kemanapun kami pergi. Sekarang? Jangankan bersama, bertemu saja rasanya sulit. Padahal kami tinggal serumah.

Kalau saja kami tidak menikah secepat itu, apa kami sekarang masih bersama? Apa yang dulu membuatku begitu yakin, Grace orang yang tepat?

Aku menyalakan mobil dan mulai beranjak pergi. Jalanan terlihat amat sepi, seperti tidak ada tanda kehidupan. Satu-satunya suara yang kudengar adalah suara penyiar radio, memutarkan lagu-lagu kuno.

“John Legend menuliskan lagu All of Me untuk sang istri, Christine Teigen, seorang model terkenal dari Amerika Serikat. Lirik lagunya dalem banget, ya? Kapan ada yang menulis lagu buat gua?”

Kata-kata sang penyiar radio membuatku berpikir. Lagu apa yang sedang Grace sukai saat ini? Apa ia masih menyukai Coldplay?

Lalu pertanyaan-pertanyaan itu berlanjut ke pertanyaan sederhana lainnya.

Apa warna kesukaan Grace sekarang?

Apa makanan kesukaaannya?

Sudah lama kami tidak bermain basket bersama, ia kangen main basket, tidak?

Seberapa sering ia menelepon April sekarang? Padahal dulu keduanya tidak bisa melewatkan hari tanpa saling bercerita.

Bagaimana perkerjaannya di kantor? Apa atasannya masih sering salah menyebut namanya?

Tunggu dulu, darimana ia belajar untuk memasak steak? Mengapa ia tidak pernah memberitahuku?

Pertanyaan-pertanyaan ini terus berlanjut di pikiranku. Rasanya sekarang banyak sekali yang tidak kuketahui tentang Grace. Padahal ia istriku. Ia tinggal serumah denganku. Mengapa tidak satupun dari pertanyaan sederhana tadi bisa kujawab?

Aku mengingat-ingat kembali kata-katanya.

“Kau pulang Zeus sudah tidur. Zeus bangun kau sudah berangkat lagi.”

Apa saja yang kuketahui tentang Zeus?

Bagaimana perkembangannya di sekolah? Aku tidak tahu.

Siapa nama teman baiknya? Aku juga tidak tahu.

Jam berapa ia pulang sekolah? Apa ia jadi mulai les piano?

Apa binatang kesukaannya masih sama? Apa ikannya di sekolah sudah mati?

“Zeus itu anak kita, bukan anakku saja!”

Zeus memang anakku juga, tetapi apa yang kuketahui tentang dirinya?

Pikiranku kacau, dan rasa bersalah menyelubungiku. Aku bekerja setiap hari, lalu pergi kuliah sampai larut malam. Ketika sampai di rumah, Zeus sudah tidur. Grace sudah mengantuk. Tak ada lagi yang kami bicarakan.

Aku memang pantas dikatakan ayah yang buruk. Kerjaku hanya mengumpulkan uang, padahal aku tahu persis bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan.

Aku telah mengabaikan keluargaku tanpa menyadarinya.

Ternyata bukan Grace yang berubah. Melainkan situasi.

Situasinya tak lagi sama seperti dulu.

Aku masuk ke dalam rumah, berharap Grace masih terbangun. Ada hal yang benar-benar perlu kubicarakan. Ada kesalahan yang perlu kuakui. Aku membutuhkannya.

“Andrew?”

Suara Grace terdengar memanggilku dari ruang keluarga. Aku segera mendekatinya. Merasa bodoh karena gagal menahan amarah sebelumnya.

“Hey” kataku pelan.

Ia tersenyum, lalu menyuruhku untuk duduk di sofa bersamanya.

Kami berdua memandangi layar TV tanpa berkata apapun. Grace sedang memutar kembali video pernikahan kami. Entah mengapa, rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali kami mengatakan ‘I love you’.

“Apa kabar?” tanyaku hati-hati, berusaha mencari topik pembicaraan. Grace menyuruhku untuk diam, dan memperhatikan layar TV.

“Since it is your intention to enter into marriage, join your right hands, and declare your consent before God and his Church.”

“I, Fransiskus Xaverius Andrew William Tedjo, take you, Vincentcia Anastasia Gracia, to be my wife. I promise to be true to you in good times and in bad, in sickness and in health. I will love you and honor you all the days of my life.”

“ I, Vincentcia Anastasia Gracia, take you, Fransiskus Xaverius Andrew William Tedjo, to be my husband. I promise to be true to you in good times and in bad, in sickness and in health. I will love you and honor you all the days of my life.”

Kami berdua tak dapat berkata apa-apa setelah mengenang ulang hari pernikahan kami.

Sebuah hari yang cerah di kota New York, kami mengikat janji untuk selamanya setia dan saling mencintai sampai maut yang memisahkan. Disaksikan oleh seluruh keluarga besar dan teman-teman, Grace dan aku sah menjadi suami istri. Hari yang sempurna, cinta yang sempurna, kebahagiaan yang sempurna.

We were happy” Suara Grace yang serak memecah keheningan diantara kami.

Aku menatap matanya dalam-dalam.

I’m sorry” kataku pelan.

Air mata Grace jatuh ke pipi. Aku segera menghapusnya dengan jariku.

I barely know you anymore” Bibirku bergetar karena gugup. “Aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu yang sekarang. Aku tidak tahu apa lagu favoritmu, makanan kesukaanmu, apa yang sedang terjadi di kantor. Aku bahkan tidak tahu bagaimana kabarmu? Jadi, apa kabar, Grace?”

“Baik” Grace menjawab disela-sela isak tangisnya. “I miss you” ujarnya sambil menarikku ke dalam pelukan.

I miss you too

I’m sorry, tadi aku marah padamu” bisik Grace di telingaku. “It’s just that, aku hampir tidak pernah melihatmu lagi. Aku rindu padamu. Aku tidak ingin ada yang berubah diantara kita” Ia menjelaskan.

Aku mengangguk.

“Aku kurang pengertian, I’m sorry, Drew”

I’m sorry too

Can we promise never to fight like this again?” Grace berkata sambil menyentuh pipiku. “Karena aku perlu tahu kalau kita sudah siap”

“Siap untuk apa, Ge?” tanyaku penasaran. “I promise. I really do

Istriku itu menarik napas dalam-dalam, lalu menggenggam tanganku erat-erat.

“Kau akan menjadi daddy lagi”

Aku terdiam untuk beberapa detik, benar-benar tidak mempercayai apa yang kudengar.

You positive?

Grace mengangguk dengan yakin. Senyumnya mengembang, dan matanya berkaca-kaca karena terharu.

Aku menariknya kembali dalam pelukan, lalu mencium dahinya.

Pikiranku memutar kembali percakapanku dengan Rein di bar.

 “Zeus udah segede apa?”

“Bentar lagi 4”

“Udah gede ya dia. Kapan punya adik?”

“Belum siap, Re. Satu aja gua sama Grace udah kewalahan, gimana mau nambah?”

Turns out, mungkin sekarang kami sudah siap.

Aku telah berjanji untuk siap. Dan setelah semua yang kami lalui bersama, susah atau senang, sehat atau sakit, apapun yang terjadi, aku yakin,

Kami siap.

_________________________________________________________________

Written on Mid 2014

Posted in Daily

Fall For You, Secondhand Serenade

Fall For You

The best thing about tonight’s that we’re not fighting
It couldn’t be that we have been this way before
I know you don’t think that I am trying
I know you’re wearing thin down to the core

But hold your breath

Because tonight will be the night that I will fall for you
Over again
Don’t make me change my mind

Or I won’t live to see another day
I swear its true
Because a girl like you is impossible to find
You’re impossible to find

This is not what I intended
I always swore to you I’d never fall apart
You always thought that I was stronger
I may have failed
But I have loved you from the start

Oh, but hold your breath

Because tonight will be the night that I will fall for you
Over again
Don’t make me change my mind
I won’t live to see another day
I swear it’s true
Because a girl like you is impossible to find
It’s impossible to find

So breathe in so deep
Breathe me in
I’m yours to keep

And hold onto your words
‘Cause talk is cheap
And remember me tonight when you’re asleep

Because tonight will be the night that I will fall for you
Over again
Don’t make me change my mind
I won’t live to see another day
I swear it’s true
Because a girl like you is impossible to find

You’re impossible to find

Posted in Daily

Sinatra, Frank

“Fly Me To The Moon (In Other Words)”

Fly me to the moon
Let me play among the stars
Let me see what spring is like
On a-Jupiter and Mars
In other words, hold my hand
In other words, baby, kiss me

Fill my heart with song
And let me sing for ever more
You are all I long for
All I worship and adore
In other words, please be true
In other words, I love you

Fill my heart with song
Let me sing for ever more
You are all I long for
All I worship and adore
In other words, please be true
In other words, in other words
I love you

Bart Howard, 1954

Bossa-Nova

 

Posted in Daily

Bereave

Kau dan aku, terbatas langit biru

Segudang harap, merah muda bersemu

Aku lupa rasa, lupa raga

Sentuh hancur dimensi waktu

.

Kau

Abu dalam kelopak rindu

Jingga mentari, kita lestari

Tidak, tidak

Ingat rasa, ingat raga

Hilang hati.

081215

Posted in Daily

Ma(sih di) Depan

IMG_20160304_185211

Bonne apres-midi, everybody!

(Artinya: Selamat siang, ho vela congkak mainnya bahasa prancis)

Jadi post kali ini akan membahas kuliah dan persiapan menghadapi masa depan.

Pertama-tama, lets make this clear. Apparently, sekarang kita sedang menghidupi masa depan. Masa depannya masa lalu. Masa depannya masa kecil kita. Bener ga? Bener kan? Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa kita ini tinggal di masa depan! (Seru yaaa)

Gua tau kata-kata barusan sama sekali ga penting, atau bodoh banget. But trust me, what I’m trying to say is amazing: Kalau sekarang kita baik-baik aja, kenapa besok engga? Kenapa 10 tahun dari sekarang engga?

Waktu SMP kita sering mikirin, nanti mau masuk SMA mana ya? Mau masuk jurusan apa ya? Apakah SMA nanti kita akan punya pacar? Apa kita akan menjadi cantik? Buktinya, sekarang kita baik-baik aja. Well, mungkin tidak sesempurna yang kita selalu bayangkan. We made mistakes, we get blamed, get angered, and much more, tapi kalau dipikirin, semua itu proses pendewasaan. Kita baik-baik aja, kita lebih dari baik-baik aja, kita ajaib. Semua yang tadinya engga kepikir bakalan terjadi, ternyata berperan besar dalam hidup kita.

My dad pernah cerita, engga usah khawatir. Hidup itu kayak lagi nyetir mobil di hutan dengan jalanan yang gelap dan panjang. Lampu mobil cuma mampu menerangi maksimal 10m jalanan di depan mobil, tapi seiring mobilnya bergerak maju, jalanan-jalanan di depannya makin jelas terlihat.

Hidup juga kaya gitu. Engga perlu dibawa susah, engga perlu ditakutin. Hidup di saat ini, jangan berpikir terlalu jauh. Semakin berjalannya waktu, masa depan satu per satu akan datang dengan sendirinya. Dan engga terasa, kita udah melewati masa kuliah, kerja, dan akhirnya siap punya anak (HAHAHA)!

Well, now to the hardest part. Kuliah dimana, vel?

Umm, that’s a hard question, considering the part that I convince the readers to nyantai-nyantai aja. Gue berencana untuk kuliah di UI Internasional Jurusan Komunikasi. Doain keterima yaaaa! Gue ga punya cadangan, modal nekad senekad-nekadnya. Jadi, well, doain yaaa:) Thankyouuu!

hihi,

xx

Posted in Daily

Final Ex(amin)ation

IMG_20160201_183129

Yak, sesuai dengan judul absurd yang tertera di atas, mohoh diamini saja gue lulus SMA (termasuk Uprak, UAS, US, TO dan UN-nya) 🙂

Welcome back to my blog yang cuma diisi kalo ada tugas TIK dari Pak Agus…..

Topik kita kali ini adalah umm BAGAIMANA PERSIAPANMU MENGHADAPI UN?

Jawabannya:

Mental, rohani dan jasmani. Mari gue jelaskan satu per satu.

MENTAL: Sebagai anak, pasti bakalan sering denger ungkapan sayang orang tua dalam bentuk teriakan “VE BELAJAR!!!!” Yap itulah mommy saya. Banyak banget yang bakal nanyain “Mau kuliah dimana?” “Yang di UN-in apa aja?” “Ujian Sekolah mulai kapan?” Dan terkadang semua itu bikin lo pusing sendiri. Buat menghadapi ini, lo harus super siap mental. Tarik napas dalam-dalam, dan yakinkan diri sendiri kalo kita pasti bisa!

ROHANI=DOA. Ora et labora, kalo kata orang tua gue. Persiapan gua sejauh ini adalah berdoa Novena Tiga Kali Salam Maria dan Hati Kudus Yesus. Walaupun kadang masih dibentak-bentak oleh ibunda tercinta gara-gara kelewatan waktunya, sejauh ini lancarrrrr:) Selalu libatkan Tuhan dalam segala hal ya, Vel.

JASMANI: Nah ini super penting. Belajar yang benar (bukan yang banyak), isi otak lo dengan segenap ilmu dan pengetahuan. Sering-sering latihan soal, dan kalo salah, cari jawaban benarnya, jangan cuma dipelototin terus bersedih gitu. Makan yang bergizi, istirahat yang cukup. VOILA! Pasti siap kok:)

Sejauh ini baru itu aja sih persiapannya. Walaupun mungkin banyak yang bilang persiapan gua ini kurang banget, please gais, di-amin-in saja yaa, PASTI LULUS.

Makazih and babuy for now!

xx

Posted in Daily

6

“Nicholas Devereaux: Rapunzel, Rapunzel, with hair so fine. Come out your window, climb down the vine.

Princess Mia: The feat you ask, dear sir, isn’t easy. And I won’t respond to that line, it’s far too cheesy.”

– The Princess Diaries, Royal Engagement

Posted in Daily

Marriage, Family and Celebration

Before we start,

Happy 30th Wedding Anniversary Mami Vince & Papi Immanuel!

FB_IMG_1445252179060

Seperti yang beberapa orang tau, gue punya keluarga yang sangatttttttttt besar. Ayahanda gue adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, namun sangat dekat dengan sepupu sepupunya. Dan ibunda gue adalah anak ke-11 dari 11. Yesss, si bungsu.

Yang unik? Gue akhirnya punya ponakan banyak, dan beberapa dari mereka udah mau married. Sedangkan gue, masih disini, bergelut dengan tugas SMA yang aneh aneh, contohnya: bikin blog.

FB_IMG_1445252202118

Ada banyak dokter di keluarga gua dari pihak mama. Hampir komplit rasanya, kami mampu mendirikan rumah sakit. Ada dokter spesialis penyakit dalam, saraf, kecantikan, anak, umum, dan masi banyak lagi. Bila dijumlah, total dokter di keluarga mama adalah kurang lebih 15 orang. Woooo!

Sekarang fakta unik keluarga papa, mereka sering arisan! Gaya kocok kocok beneran ituloh, bukan yang elektrik macem ngumpul di skype. Biasa kalo Chinesse New Year, diadainnya di rumah kakek nenek gue. Kenapa selalu? Karena apparently, sang kakek adalah anak tertua yang masih hidup di susunan kakak-beradiknya. Which means, para adik-adik beserta cucu cucunya lah yang mesti datengin dia.

FB_IMG_1445251826878

Wedding would always be a megasized celebration. Engga aneh, considering the fact kalo kanan kiri keluarga gua besarrrrr formasinya. There is no such thing as private weddings ato makan mejaan. Semua harussssss diundang, sampe anak anak paling kecil, paling tak terlihat, yang sana sini encusnya masih harus buntutin, mesti hadir juga.

Tapi yang gue banggakan, at least kedua pihak keluarga gue masih menjunjung tinggi tradisi. Tepai itu kewajiban (Tepai: upacara adat mempelai tionghua ketika mau menikah, nyuguhin teh kepada anggota keluarga yang lebih tua, in return mereka akan kasih angpao atau hadiah atau nasehat). Adat dan tradisi di keluarga mama emang ga sekuat di keluarga papa, tetapi segala macam kewajiban yang mereka terapkan, diantaranya wajib tepai dan minta restu popo+para om tante kalo mau married.

FB_IMG_1444580307979

Kira kira begitulah gambaran keluarga sederhana namun penuh sesak gua.

Terima kasih sudah membaca info keluarga yang harus gue tulis demi nilai tugas blog ini 🙂

Have a nice day!

📷 our cousin, Mr Verby.